Sebanyak 400 juta ton plastik dihasilkan dunia setiap tahunnya untuk berbagai keperluan, termasuk sebagai bahan pembungkus karena sifatnya ringan dan fungsional. Demikian dikutip dari laporan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) berjudul White Paper on Plastics Circular Economy and Global Trade terbitan Juli 2020. Sayangnya, sebagian besar plastik tersebut berakhir sebagai sampah dan berpotensi merusak lingkungan termasuk di perairan.

Forum Ekonomi Dunia pun memperkuatnya dengan mengatakan, ada sekitar 150 juta ton sampah plastik berada di perairan dunia. Pertumbuhannya pun tak kalah hebat, mencapai 8 juta ton per tahunnya.

International Coastal Cleanup (ICC) merilis, pada 2019 sebanyak 97.457.984 jenis sampah dengan berat total 10.584.041 kilogram ditemukan di laut. Sembilan dari 10 jenis sampah terbanyak yang mereka temukan berasal dari bahan plastik, seperti sedotan dan pengaduk, alat makan plastik, botol minum plastik, gelas plastik, dan kantong.

Sampah-sampah plastik tadi mengancam setidaknya 800 spesies. Hal itu terungkap dari hasil penelitian yang diterbitkan Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention On Biological Diversity) pada 2016. Sebanyak 40 persennya adalah mamalia laut dan 44 persen lainnya spesies burung laut.

Data itu kemudian diperbarui pada Konferensi Laut PBB di markas New York, Amerika Serikat pada 2017. Konferensi menyebut limbah plastik di lautan telah membunuh 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan-ikan dalam jumlah besar setiap tahun.

Plastik fleksibel, seperti lembaran plastik, tas, dan kemasan dapat menyebabkan penyumbatan dan infeksi usus. Terkadang hal ini berujung pada kematian terutama spesies cetacea (seperti paus dan lumba-lumba) dan kura-kura.

Sampah plastik di lautan juga menjadi masalah bagi Indonesia. Kita tentu masih ingat dengan penemuan bangkai paus sperma (Physeter macrocephalus) di perairan Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 18 November 2018. Bangkai ikan bernama lain paus kepala kotak itu kemudian dinekropsi. Hasilnya sungguh mengejutkan karena dari dalam perutnya ditemukan ratusan sampah plastik berbagai jenis seberat total 5,9 kilogram.

Sampah-sampah tadi di antaranya sebanyak 1.000 potong tali rapia, gelas plastik bekas air minum dalam kemasan (AMDK) ukuran 350 mililiter (115 buah), dan kantung plastik (25 buah). Terdapat pula sepasang sendal jepit ditemukan di dalam perut bangkai paus sperma berukuran tubuh hampir 10 meter itu. Temuan itu menunjukkan betapa bahayanya dampak sampah plastik hingga menyebabkan kematian seekor paus sperma, salah satu mamalia air terbesar di Bumi.

Temuan tadi sejalan dengan hasil penelitian World Wild Fund (WWF) Indonesia yang menyebutkan sebanyak 25 persen spesies ikan laut telah mengandung bahan mikroplastik. Tentu saja bahan tersebut berasal dari sampah plastik di lautan. Mikroplastik adalah partikel plastik berukuran kurang dari 5 mm dan dapat dikonsumsi plankton, salah satu makanan utama ikan.

Kondisi itu bisa terjadi karena setiap tahun laut Indonesia diperkirakan mendapat kiriman dari darat 70-80 persen sampah plastik bekas konsumsi manusia. Jumlahnya antara 480 ribu-1,29 juta ton sampah plastik dari total 3,22 juta ton sampah yang masuk ke laut dan pesisir.  Hal itu diungkapkan peneliti mikrobiologi laut dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ariani Hatmanti pada seminar International Conference on the Ocean and Earth Sciences (ICOES), yang dilaksanakan secara daring di Jakarta, 19 November 2020.

“Karena itu perlu adanya rencana strategis dalam pengelolaan sampah di mana para pemangku kepentingan berkolaborasi dan berkampanye untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai, mendaur ulang plastik, dan mengembangkan lebih banyak mikroba pengurai plastik,” katanya.

 

FPIK Anton Setiawan